Kendati manusia diciptakan dari tanah, sesungguhnya manusia dirancang Allah untuk menjadi penghuni syurga, sebagaimana yang terjadi pada nenek moyang mereka Adam dan Hawa ‘alaihimassalam. Adam dan Hawa diturunkan Allah ke atas bumi agar anak cucu mereka berkembang biak di atasnya sebagai tempat tinggal mereka sementara dalam rangka mengikuti seleksi atau ujian masuk ke syurga di akhirat kelak. Dalam ujian tersebut sudah pasti ada yang lulus dan tak sedikit pula yang gagal. (Al-Mulk : 2)
Untuk memastikan siapa di antara manusia yang lulus dan siapa yang gagal, Allah ciptakan untuk manusia visi dan misi hidup saat mereka melewati periode kehidupan dunia yang amat singkat dan fana. Visi dan misi inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia memiliki visi hidup yang besar, yakni menjadi khalifah Allah di atas muka bumi (Al-Baqarah : 30) dan memiliki misi yang sangat mulia, yakni beribadah kepada Allah dengan menaati sistem hidup yang diciptakan-Nya untuk manusia, (Azd-Dzariyat : 56).
Manusia yang tidak mau menjalankan visi dan misi hidup ketika diberi Allah kesempatan hidup di dunia disebut orang-orang yang gagal. Di dunia Allah samakan derajat mereka dengan derajat “hewan”, bahkan lebih rendah lagi dan di akhirat Allah ancam dengan neraka Jahannam. (Al-A’raf : 179). Sedangkan manusia yang siap menjalankan visi dan misi tersebut dengan baik dan maksimal, maka mereka adalah orang-orang yang sukses dalam hidup di dunia dan akhirat nanti; yakni meraih syurga Al-Firdaus. (Al-Kahfi : 107 & 108).
Di samping itu, kedua hal tersebut (visi dan misi hidup) adalah nikmat Allah yang paling besar yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Allah akan meminta pertanggungjawbannya di akhirat kekak. (At-Takatsur : 8). Sedangkan hewan tidak diberikan visi dan misi hidup seperti yang diberikan kepada manusia. Sebab itu, hewan tidak memiliki pertanggungjawaban akhirat. Maka, hewan boleh hidup bebas di dunia dan sesuka insting yang Allah ciptakan bagi mereka.
Empat Kriteria Manusia Syurga
Sesungguhnya syurga itu sangat luar biasa. Saking luar biasanya “ tidak pernah terlihat oleh mata dunia, tidak terdengar oleh telinga dunia dan bahkan tak tergambarkan oleh hati dan fikiran manusia’ (Al-Hadits). Para penghuni syurga sibuk menikmati kenikmatan fasilitas syurga yang tiada batas berupa istri-istri yang maha cantik, buah-buahan yang melimpah dan seterusnya, baik kualitas maupun kuantitasnya, (Yasin : 55 – 57). Sementara di dunia, manusia yang lupa atau tidak beriman pada akhirat, sibuk mengejar dan mencari kenikmatan dunia, namun mereka tak kunjung dapat menikmatinya.
Untuk menjadi manusia syurga, kita perlu memiliki kelayakan, kriteria dan sifat yang sangat istimewa, karena syurga itu adalah tempat kembali manusia yang sangat luar biasa. Di antara kelayakan, kriteria dan sifat tersebut, Allah cantumkan dalam surah Ali Imran ayat 185 :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Setiap yang bernyawa itu pasti merasakan kematian. Dan sesungguhnya di akhirat disempurnakan balasan kalian. Maka siapa (har itu) dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, sungguh ia adalah yang sukses. Dan tidak adalah kehidupan dunia itu kecuali kenikmatan sedikit yang amat menipu”. (Ali Imran :185)
Dari ayat di atas, dapat kita pahami bahwa manusia harus memiliki empat karakter atau sifat agar memiliki kelayakan masuk syurga. Empat karakter atau sifat tersebut ialah :
“Setiap yang bernyawa itu pasti merasakan kematian. Dan sesungguhnya di akhirat disempurnakan balasan kalian. Maka siapa (har itu) dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, sungguh ia adalah yang sukses. Dan tidak adalah kehidupan dunia itu kecuali kenikmatan sedikit yang amat menipu”. (Ali Imran :185)
Dari ayat di atas, dapat kita pahami bahwa manusia harus memiliki empat karakter atau sifat agar memiliki kelayakan masuk syurga. Empat karakter atau sifat tersebut ialah :
1. Mereka meyakini adanya kematian setelah habis jatah hidup di dunia. Mereka yakin betul dunia ini hanya untuk tempat tinggal sementara dalam rangka mengikuti ujian seleksi masuk syurga di akhirat nanti. Sebab itu, mereka selalu mengingat kematian. Karena kematian itu pasti dan kaitannya hanya dengan ajal, bukan dengan sakit, perang dan lainnya, (Yunus : 49). Kematian itu adalah kepastian, sebagaimana yang kita saksikan faktanya, tidak ada manusia yang tidak mati.
Meyakini kematian dan selalu mengingatnya mendorong manusia untuk mencurahkan harta dan nyawanya untuk menjalankan visi dan misi hidupnya. Orang yang menyadari adanya kematian, ia tidak akan sia-siakan kehidupan dunia kendati hanya sesaat, karena kematian itu misterius, tidak melihat umur, kekayaan, pangkat, ilmu, status sosial dan sebagainya. Kematian itu hanya terkait satu hal saja, yakni AJAL. Sebab itu, ia aka isi semua hidupnya dengan iman dan amal shaleh semaksimal mungkin, karena iman dan amal shaleh itulah bekal terbaiknya untuk meraih syurga.
Orang yang menyadari adanya kematian ialah orang paling siap menyambut kematian dalam keadaan prima sehingga ia meraih “husnul khatimah”, karena ia telah merancang kematian itu sepanjang hidupnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan “husnul khatimah” itu adalah kunci masuk syurga, tanpa mampir dulu ke neraka.
Sebab itu, Rasulullah tercinta, mengingatkan kita dalam sabdanya : “Perbanyaklah mengingat yang menghancurkan kelezatan dunia, yakni kematian”. (HR. Tirmizi).
2. Mereka berorientasi akhirat, yakni masuk syurga. Manusia syurga ialah orang yang sudah merdeka dari grafitasi bumi (materialisme), (At-Taubah : 38). Pikiran, perasaan dan cita-citanya melambung jauh ke alam akhirat nun jauh di sana, kendati kakinya masih melangkah di atas tanah. Manusia syurga, sudah tidak peduli lagi dengan label-label kemewahan berbagai fasilitas dunia, baik yang bersifat materil maupun immaterial seperti kesohoran, status sosial, penghormatan manusia dan sebagainya. Karena kenikmatan hidup dengan serba fasilitas yang super VVIP yang mereka harapkan itu ada di syurga, bukan di dunia ini. Di sanalah nanti mereka akan bertemu dengan Rabul ‘Izzah yang kenikmatan melihat wajah-Nya melebihi kenikmatan syurga dan isinya. (Al-kahfi : 110)
Saking dahsyatnya kenikmatan syurga dan roja’ (harapan) melihat wajah Tuhannya di akhirat nanti, ia tidak berselera lagi menikmati kenikmatan dunia yang tidak seberapa itu, kendati dunia dan seisinya ada dalam kekuasaan dan genggamannya. Semuanya ia gunakan dan manfaatkan untuk kepentingan akhiratnya sebagai amal shaleh yang menjadi bekal akhiratnya. Sedangkan untuk keperluan dunianya ia nikmati secukupnya saja. Yang demikian itu adalah pilihan hidupnya, bukan karena tidak bisa. Inilah yang memebadakannya dengan orang kafir yang orientasi hidup mereka adalah berfoya-foya di dunia dan di akhirat mereka sengsara. (Al-Ahqah : 20)
3. Merevisi standar kesuksesan. Manusia syurga sadar betul bahwa kesuksesan besar dan tanpa batas itu adalah di akhirat, bukan di dunia ini. Dunia ini hanya sebagai tempat berkarya dan beramal shaleh untuk kepentingan akhiratnya, bukan untuk kepuasan dirinya di dunia. Sebab itu, ia yakin apapun bentuk kesuksesan yang ia raih selama hidup di dunia seperti, ijazah, harta yang melimpah dan pangkat yang tinggi bukanlah jaminan kesuksesannya di akhirat. Bahkan semua itu belum pantas dinamakan sebagai sebuah kesuksesan, karena kesuksesan hakiki ialah di akhirat kelak, di saat ia dinyatakan Allah selamat dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, (Ali Imran : 185 dan At-Taubah : 72).
Sebab itu, manusia syurga tidak akan pernah silau dengan berbagai keberhasilan dan karyanya di dunia ini, karena semua itu merupakan karunia Allah yang wajib ia syukuri dengan cara memanfaatkan dan menggunakan semuanya di jalan Allah demi meraih kesukesan akhiratnya, yakni syurga yang mengalir di bawahnya berbagai macam sungai. (Muhammad : 15).
4. Memahami dan menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanyalah kenikmatan sedikit yang menipu. Manusia syurga tidak tergiur oleh empuknya tempat tidur, nyamannya rumah besar, kendaraan mewah, harta berlimpah, kedudukan yang tinggi dan nikmatnya pelesiran ke berbagai tempat wisata di atas muka bumi ini.
Semua itu tidaklah berarti apa-apa dibandingkan kemewahan syurga dengan beragam fasilitasnya yang berlimpah (Ar-Ra’d : 26) yang tidak membuatnya sedih, letih dan bosan menikmatinya. (Fathir : 34 & 35). Kehidupannya di syurga hanya menyibukkan diri dengan kenikmatan yang Allah sediakan, (Yasin 55 – 58).
Sebab itu, manusia syurga mampu membangun life style syurgawi, kendati ia masih berstatus tempat tinggal di atas bumi, karena ia yakin dengan haqqul yakin dan memahami betul bahwa dunia dan seisinya ini jika dibandingkan dengan kenikmatan syurga, baik kualitas maupun kuantitasnya tidak bernilai apa-apa.
Secara kuantitas, dunia dan seisinya ini dibandingkan dengan syurga “seperti orang yang mencelupkan jarinya ke dalam lautan. Yang terbawa oleh jarinya, (itulah dunia). (HR. Muslim).
Secara kualitas, Rasulullah menjelaskan bahwa dunia itu tidak ada nilainya jika tidak digunakan di jalan Allah. Beliau bersabda : “Jika dunia itu bernilai di mata Allah senilai satu sayap nyamuk saja, Allah tidak akan berikan kepada orang kafir kendati hanya seteguk air”. (HR. Tirmizi).
Dunia itu di mata Allah tidak lebih berharga dari telinga bangkai keledai yang sudah membusuk. Suatu hari, Rasulullah melewati pasar bersama para sahabatnya. Lalu orang-orang pasar mengerumuni Beliau. Lalu Rasulullah menemukan sisa telinga bagkai keledai yang sudah membusuk. Beliau mengambilnya dan berkata : Siapa di antara kalian mau membeli ini dengan satu dirham (sekitar Rp 40.000)? Tidak ada dari kami yang mau dan untuk apa? Lalu Rasulullah menawarkan lagi : Siapa yang mau mengambilnya dengan gratis? Para sahabat menjawab lagi : Demi Allah, jangankan sudah jadi bangkai, waktu keledai itu hiduppun kami tidah mau karena telinganya rusak. Maka saat itu Rasulullah bersabda : Demi Allah, sesungguhnya dunia ini lebih hina di mata Allah ketimbang ini (telinga keledai yang sudah jadi bangkai). (HR. Muslim).
Begitu pula dibanding dengan waktu, maka umur kita di dunia ini dibanding akhirat dan syurga yang kekal abadi (Al-A'laa : 17) adalah nol besar. Mari kita hitung : Masa hidup kita di dunia (60 – 90 tahun) : Kekal Abadi = 000 (tak terhitung).
Subhanallah…. Dari segi apapun kita, perbandingkan dunia dengan akhirat atau syurga, ternyata dunia itu tidak ada nilainya. Sebab itu, manusia syurga akan sangat berhati-hati terhadap kehidupan dunia dengan cara berikut :
1. Ia tidak akan mengambil dan mencari berbagai nikmat kehidupan dunia ini kecuali dengan jalan yang Allah syari’atkan dan Rasulullah contohkan dan dengan tujuan ibadah kepada Allah.
2. Jika Allah anugerahkan kepadanya berbagai kenikmatan dunia, khususnya harta, ilmu dan kedudukan, maka ia akan gunakan semaksimal mungkin di jalan Allah, karena itulah cara mensyukurinya. Di samping itu, ia akan letakkan semuanya di telapak tangannya, bukan di dalam hatinya, karena ia paham begitulah cara meraih kecintaan dan keridhaan Rabb-nya.
3. Jika Allah belum takdirkan ia mendapatkan berbagai kenikmatan dunia, khususnya harta dan kedudukan, maka ia tidak akan bersedih dan ia jalankan kehidupan ini dengan kesabaran. Karena syukurnya orang berharta dan sabarnya orang miskin sama-sama bernilai tinggi di sisi Allah Subhanahu Wata’ala.
Akhirnya, kita berdoa semoga Allah jadikan kita dan anak keturunan kita sebagai hamba Allah yang merindukan syurga dan Allah hindarkan kita dari hamba dunia.
↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭
KOMUNITAS TADABBUR AL-QURAN (KONTAQ)
↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭
KOMUNITAS TADABBUR AL-QURAN (KONTAQ)
↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭
Posting Komentar